Gunting Kuku

Cerpen Gunting Kuku


“Takut hilang, susah nyarinya,” katamu sembari menyelipkan jemari di antara jari-jariku.

Dan aku termangu, memutar segala memori tentang aku dan kamu.

***

Degubku ribut sekali sejak malam kemarin. Ah, bahkan sejak seminggu sebelum hari ini. Tanggal 11 Februari, sudah kubuat penanda di kalender dengan warna merah bentuk hati. Sekian lama menanti, akhirnya kamu akan benar-benar hadir. Bukan hanya lewat jejaring sosial seperti dua bulan terakhir, kamu memilih—atau memaksa—untuk sebentar mampir ke kotaku dan meneguhkan ikrar hati.

Entah sudah berapa kali aku membuka mata untuk melihat jarum jam. Masih subuh, belum waktunya. Pejamku enggan mencapai nyenyak, debar jantungku tidak dapat diubah ke mode senyap. Pikiranku melayang, meraba-raba sekiranya pakaian apa yang cocok untuk kencan pertama. Pun mencari rute transportasi umum yang paling hemat waktu untuk kutempuh ke tempat pertemuan.

Detik-detik berjalan terlalu cepat, oh begini ya sensasi rasa melipat jarak.

“Travelku sudah berangkat, sampai ketemu, ya!” Begitu tulismu dalam ruang obrolan kita pada pukul 08.00 tepat.

Napasku tercekat. Aku melonjak dari tempat tidur secepat kilat dan segera bersiap untuk berangkat. Sekitar empat puluh menit kuhabiskan untuk mandi dan berpakaian. Kemudian, satu jam mematut diri di muka cermin agar tampak lebih segar. Dalam tangkapan layar yang kamu bagikan, kamu akan tiba sekitar pukul 12.00 siang. Masih sempat! Aku meraih chealsea boots hitam dengan hak lima senti yang bertengger di rak. Sepertinya sudah semua, batinku saat sekali lagi memandangi pantulan diri di depan kaca.

Aku sedang berlari kecil menuju halte bus terdekat saat kulihat gawai yang kugenggam memunculkan banyak notifikasi chat dan panggilan. Jumlahnya mencapai ratusan. Semuanya darimu yang menyatakan sudah sampai ke tempat tujuan. Sekali lagi, aku hampir lupa bernapas. Kok lebih cepat dua jam dari estimasi perjalanan? Namun, aku masih mencoba tenang.

Ponsel pintarku bergetar, panggilan masuk darimu. Kugeser ikon berwarna hijau untuk menjawab teleponmu.

“Halo, assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam.”

“Sayang, aku sudah sampai. Kamu di mana?” tanyamu lembut.

“Aku masih nunggu bus, kemungkinan empat puluh menitan lagi baru sampai. Kok datangnya lebih cepat?”

“Ya, kan, itu estimasi waktu kalau macet. Tadi jalanannya lancar.”

“Oh, aku kira travelmu terbang,” kataku mencoba meredakan dagdigdug yang terdengar sangat nyaring sampai telingaku.

Renyah tawamu melukiskan sebaris senyum di bibirku. Sebentar saja. Karena dua menit kemudian aku menyadari sesuatu, “Ih, aku lupa gunting kuku!”

“Ya sudah gak apa, nanti beli di sini,” jawabmu santai.

“Memangnya ada?”

“Nanti kita cari, ya.”

Panggilan berakhir selepas kita saling bertukar informasi mengenai pakaian yang dikenakan masing-masing agar lebih mudah dicari. Tepat setelahnya, bus yang harus kunaiki memunculkan diri. Aku melangkahkan kaki untuk masuk dan mulai memantau angka kilometer yang menyusut lewat aplikasi.

Setelah kembali berlari kecil melewati jembatan penghubung untuk transit dan melakukan perjalanan dengan bus selanjutnya selama dua puluhan menit, aku tiba di sana. Kukirim pesan untuk memastikan posisimu berada. Duh, kok tiba-tiba kakiku berat sekali, ya? Jantungku hampir meluncur bebas dari tempatnya! Kucoba mengulur waktu dengan mengambil jalan memutar.

Hingga langkahku terhenti delapan meter dari tempatmu menanti.

Mata kita tertumbuk. Kamu dan aku, sejenak menghentikan waktu.

Kukumpulkan kembali sisa-sisa debar yang kupunya untuk melanjutkan langkahku menujumu. Kamu di situ, dengan kaos hitam dan flanel biru. Rambutmu tergerai di bawah bahu, tapi gagahmu masih tampak jelas di mataku.

Assalamu’alaikum,” sapaku.

Wa’alaikumussalam, sini duduk.”

Aku menarik kursi di hadapanmu. Dapat kuhidu dengan jelas aroma kopi dari parfummu. Wangi, satu lagi poin lebih kutambahkan untukmu.

Kamu meraih jemariku yang tertelungkup di atas meja. Namun, aku menariknya kembali secepat kilat. “Aku belum potong kuku!”

“Ya sudah, ayo cari gunting kuku dulu,” ucapmu, mengulurkan telapak tangan tepat di hadapanku. Dan, aku meraihnya tanpa ragu.

Kamu dan aku, menghabiskan delapan jam dengan sederhana yang sarat makna. Meniadakan bising-bising di sekitar, sebab kali itu dunia hanya milik kita berdua.

“Masa hadiah dari aku pertama ketemu kamu cuma gunting kuku doang, sih?”

“Ya, memangnya kenapa?”

“Gak ada spesialnya sama sekali,” gerutumu sambil menggenggam erat tanganku.

***

Gunting kuku darimu masih selalu kubawa ke mana-mana sampai usia cerita kita sudah lebih dari tiga tahun berjalan. Hal yang pernah kamu anggap biasa saja, nyatanya sangat berharga.

Sebab, hari itu, kamu menerima kuku-kukuku yang buruk rupa, menemaniku menemukan gunting kuku untuk merapikannya sembari menggenggam tanganku tanpa jeda. Pun kamu, sejak hari itu, menerima semua hal-hal buruk yang kupunya dan tetap membersamaiku tanpa lelah.

Katamu, kamu takut aku hilang karena susah mencarinya? Aku pun demikian.






Tabik,



Hvman
Gunting Kuku Gunting Kuku Reviewed by hvman on February 11, 2025 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.

Pages

Label