Untuk Matahariku

Untuk Matahariku; Bapak

Teruntuk laki-laki dengan tulang rahang yang tajam dan dada yang bidang, untuk Bapak;

Pak, sebelumnya, terima kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir ke mimpiku dua hari yang lalu. Kayaknya, itu baru yang kedua kali semenjak Bapak pergi, ya? Aku baru lihat Bapak banyak ketawa dan main sama aku lagi sejak sekian lama aku cuma lihat Bapak lebih banyak tutup mulut di rumah. Ketika mataku kembali terjaga, aku sempat merenung beberapa saat. Benar-benar lupa kalau Bapak sudah enggak ada di dunia. Rasanya kayak nyata. Sangat nyata. Namun, kemudian aku ditampar oleh fakta. Aku baru ingat, Bapak sudah bahagia di tempat yang berbeda.

Aku senang Bapak datang, tapi juga sedih rasanya karena lubang di dadaku kembali terbuka lebar. Dan sialnya, aku gak tau harus bicara sama siapa tentang semua yang aku rasa. Aku cuma punya diriku, Pak. Ya, dan tulisan ini pada akhirnya. Terima kasih kepada jemariku yang masih setia membersamai aku menulis tumpahan emosi yang kupendam. Kembali pakai cara lama lagi, kayak waktu Bapak masih ada.

Bapak ingat gak, aku minim sekali bicara di rumah? Mirip sama Bapak, kan? Hehe. Sampai sekarang, aku cuma sering bicara sama kucing-kucing aja. Mereka lucu, Pak, dan gak pernah nge-judge perihal apa pun yang aku utarakan. Walau kelihatannya cuek, tapi katanya kucing tuh 80% mengerti apa yang kita bicarakan. Itulah, pada akhirnya aku memutuskan untuk adopsi mereka beberapa tahun silam. Setidaknya, intensitasku bicara pada udara agak berkurang semenjak ada mereka.

Pak, di dalam draft yang belum terpublikasi, ada satu tulisan yang sangat manis. Tentang Matahari dan Pagi. Namun sepertinya, Matahari dan Pagi yang kumaksud di sana gak sama dengan yang aku pikir. Aku sedang kecewa sekali. Matahari semestinya selalu sedia menyinari, tapi yang satu ini enggan berada di sisi saat kondisiku butuh dirinya hadir. Lagi-lagi, aku sibuk sendiri. Mengobati luka-lukaku yang belum kering dan sudah kembali disakiti. Kususun aksara ini sembari menangis. Aku ingin sekali ikut saat sebelumnya Bapak sempat menghampiri.

Aku lelah sekali, Pak. Aku adalah anak bungsu perempuanmu yang sedari belia sudah harus mengambil peran sulung. Punggungku dipaksa lebih kokoh dari yang semestinya. Sebelumnya, aku selalu bangga pada diriku yang mampu melakukan berbagai hal tanpa mengandalkan yang lain. Hanya aku aja. Namun semakin ke sini, rasanya sifat maskulin yang lumayan dominan ini cukup menyulitkan buat keberlangsungan kehidupan percintaan. Dilema.

Standar minimumku adalah Bapak. Bapak sebagai laki-laki gagah pertama yang aku kenal. Bapak selalu kelihatan gak peduli, tapi Bapak selalu ada. Aku ingat betul momen di mana aku hanya berdua dengan Mas di rumah. Dia pukul kepalaku, aku langsung kabur ke luar dan telepon Bapak yang lagi kerja sambil banjir air mata. Gak perlu lama, Bapak sudah sampai di rumah, mengelus kepalaku dengan lembutnya. Pak, apa aku bisa dapat yang kayak Bapak?

Capek, Pak. Pengin dimanjain, minimal didengar saat aku bicara. Itu dulu aja.

Mungkin, Matahariku memang hanya Bapak. Terima kasih, Pak. Selama hidup, Bapak sudah membiarkan aku menelusuri mimpiku hingga aku bisa sampai di titik sekarang. Terima kasih sudah mewariskan serangkaian bakat. Terima kasih sudah membantuku terbentuk menjadi perempuan yang kuat. Terima kasih untuk segala kasih sayang yang Bapak berikan, walau seringkali diam-diam.

Aku masih ingat betul, waktu Bapak baru pulang ke rumah larut malam setelah sekian hari bekerja di luar kota, Bapak langsung masuk ke kamar. Bapak cium keningku yang saat itu sedang pura-pura terlelap. Ternyata benar kata Mama, Bapak memang suka cium keningku saat aku tidur malam. Gengsinya besar sekali ya, Pak? Nurun nih ke anaknya.

Bapak, selamat hari lahir ya. Maaf kalau selama Bapak hidup aku masih belum cukup mampu membanggakan. Maaf, aku masih sering nakal. Maaf atas bantahan-bantahan yang sukar terhindarkan. Maaf ya, Pak, kalau aku sempat menyakiti hati Bapak. Aku sayang sekali sama Bapak. Aku harap, kita bisa sama-sama tau dan paham perasaan kita masing-masing walau keduanya enggak pernah mengutarakan.

Pak, aku benci kehilangan. Apalagi kehilangan laki-laki gagah pertama yang aku kenal. Aku mau peluk Bapak, sekali lagi aja. Mau merasakan dada bidang Bapak yang mendekapku hangat. Aku mau laki-laki yang sedia hadir ketika aku butuh kembali membersamai langkah-langkah kecilku ke depan. Aku mau Matahariku memancarkan kembali cahayanya. Seandainya bisa ya, Pak.

Bapak masih selalu jaga aku, kan? Bapak pasti tau duniaku sedang porak-poranda, makanya Bapak datang. Bapak memang paling bisa diandalkan. Bantu aku ya, Pak. Kalau menurut Bapak, aku sedang salah langkah, tolong ingatkan.

Hehe, masih rewel aja ya anak perempuan Bapak satu ini? Habisnya, aku mau rewel ke siapa lagi, Pak? Buntu sekali rasanya.

Aku yakin Bapak sudah punya tempat terbaik yang sudah Allah siapkan di sana, tapi tengok-tengokin aku terus ya. Aku akan selalu rindu Bapak. Sekali lagi, selamat hari lahir, Matahariku tercinta.

Untuk Matahariku Untuk Matahariku Reviewed by hvman on December 30, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.

Pages

Label