CW // kekerasan seksual |
Menapaki pengujung tahun 2024, saya akan mengajak sesiapa yang membaca tulisan ini untuk menemani saya berwisata mengunjungi ruang memori di kepala saya. Tepat delapan tahun silam, 5 Desember 2016, kaki-kaki saya begitu laju menerobos jalan basah kota Jakarta. Memasuki salah satu gerbong commuter line yang padat, tak lagi mengharap tempat duduk untuk rehat. Saya berdiri menghadap jendela, membuat mata saya tertumbuk pada garis-garis vertikal dari bulir hujan yang memainkan kesenduan di hati saya.
Dalam kesesakkan yang ditimbulkan oleh sekumpulan manusia di dalamnya, pikiran saya melayang pada ketidakberdayaan yang tetiba hinggap. Bagaimana tidak? Peluang pergerakan yang begitu sempit bahkan tidak membiarkan saya untuk dapat meraih pegangan tangan yang tepat berada di atas kepala. Terombang-ambing dibuatnya, berupaya mengikuti arus dalam ruang padat agar tidak tersungkur jatuh dan terinjak.
***
Diskusi Rape Culture dan Women's Sexual Consent Issue
Masalah krusial yang tak kunjung mendapatkan tempat di hati masyarakat dominan. Terlalu banyak pertanyaan, atau bahkan kritik dan pengajuan keberatan di balik hal-hal yang selalu dianggap biasa di mata sebagian orang. Namun, kuasa tetap dipegang oleh pengabaian. Apalagi kalau bukan memprihatinkan?
Peradaban semu bersembunyi di balik suara-suara lantang mengenai emansipasi yang nyatanya masih merupakan sebuah konstruksi dari kaum patriarki. Alhasil? Kesetaraan masih begitu jauh dari kata adil. Sedih? Sudah pasti.
Lebih dari seratus orang dari kalangan mahasiswa, aktivis perempuan, aktivis kemanusiaan, akademisi, seniman, dan masih banyak lagi hadir di Auditorium Gedung Komunikasi, FISIP, Universitas Indonesia. Di sini pula pijak saya terhenti, sebagai golongan lain yang merasa resah dengan adab yang menjelma biadab. Merasa harus berada di antaranya. Merasa bertanggungjawab untuk kemudian menyuarakan cacatnya konstruksi sosial kita.
Sebelumnya, apa yang paling menempel di benak ketika membicarakan film India? Taman bunga? Pilar-pilar? Nyanyian? Tarian? Memang, bayangan Kuch Kuch Hota Hai (1998) atau Kabhi Kushi Kabhi Gham (2001) sangat lekat dengan gambaran umum produksi Bollywood. Namun, PINK (2016) menyajikan hal yang benar-benar bertolak belakang. Sajian-sajian yang seringkali dianggap sebagai “menu wajib” dalam film India tetiba lenyap. Kecuali Inspektur Vijay. Ya, eksistensinya patut untuk kita semarakkan dengan tepuk tangan!
PINK dan Lengking yang Tak Nyaring
Film India yang biasa ditampilkan dengan colorful ditebas habis oleh suasana dark yang dominan di sini. Apalagi, banyaknya scene yang berlatar tempat di pengadilan membuat ketegangan-ketegangan muncul tanpa henti. Sejujurnya, adegan-adegan di sini cukup mengiris hati. Sebab, bukan suatu hal yang mudah, pasti.
Rajveer dkk. memutarbalikkan fakta setelah melakukan serangkaian pelecehan seksual terhadap Minal dkk. Hal tersebut membuat para perempuan ini berada di posisi yang tersudut. Kekuasaan dari kaum laki-laki yang telah dikonstruksi oleh masyarakat dan keberadaan norma yang berlaku di dalamnya membuat mereka sulit untuk bergerak. Kalau kata Raisa, serba salah.
Bungkam, jelas bukan jawaban. Namun berbicara, di depan puluhan pasang mata yang hadir di meja hijau, sama dengan membenturkan diri pada dinding ketakutan. Sebab mereka tidak memberi ruang kepada para perempuan tersebut untuk dipercaya. Miris, ya? Praduga tak bersalah seakan lenyap entah ke mana. Intimidasi terus menghunjam tanpa lelah.
Perempuan Butuh Ruang
Perempuan dan ruang pribadinya diungkapkan secara apik oleh Virginia Woolf di dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own. Secara tradisional, perempuan adalah sosok yang tidak independen dengan menjadi milik keluarga atau kelompok, bukan milik dirinya sendiri. Di sinilah sebetulnya ruang pribadi untuk perempuan dibutuhkan, sebagai suatu realitas maupun perlambang/simbol. Perempuan butuh mengundurkan diri dari “dunia” selama beberapa saat. Untuk mengembangkan dirinya. Untuk lebih mencintai dirinya. Namun sayang, terlalu banyak dari mereka yang tidak mengizinkan perempuan mendapatkan hal demikian karena ketidakpercayaannya kepada perempuan.
Laki-laki Baru
Sosok laki-laki baru di dalam film PINK ini bisa kita saksikan di dalam tokoh Deepak Sehgal yang diperankan oleh Amitabh Bachchan. Aktor senior yang pamornya sudah tak perlu dipertanyakan lagi ini menjadi satu sosok yang paling memukau bagi saya. Pensiunan pengacara yang mengidap bipolar disorder tersebut menjadi satu-satunya saksi yang melihat bagaimana Rajveer dkk. menculik Minal setelah Minal melakukan pemberontakan dari pelecehan yang dilakukan Rajveer di sebuah pesta.
Nah, di sinilah letak kekecewaan saya. Sesuatu yang bagi saya merupakan hal penting, penculikan Minal dan pelecehan yang terjadi di dalam mobil, tidak dibahas sama sekali di pengadilan. Saat pengacara kubu lawan dengan gencar mengintimidasi kliennya dengan pertanyaan-pertanyaan yang apalah-apalah, Sehgal tetap kalem tanpa perlawanan. Kliennya jelas tampak kesal. Saya pun demikian.
Jika ada di antara kalian yang kurang suka dengan spoiler film, bisa berhenti membaca sampai di sini dan close tab sekarang.
Namun, udara segar akhirnya memasuki rongga dada. Satu-satunya orang yang berada di pihak perempuan untuk membela mereka di tengah kungkungan keadaan yang begitu pelik tersebut mengungkapkan satu argumen yang sukses membuat mata saya berkaca-kaca:
Tidak artinya tidak. Tidak bukan sekadar kata, ia merupakan sebuah kalimat lengkap yang tidak membutuhkan kalimat lebih lanjut. Para lelaki harus mengerti, siapa pun perempuan yang mengatakannya, apakah perempuan itu seorang kenalan, teman, kekasih, pekerja seks, atau bahkan istri sendiri, tidak berarti tidak. Ketika seorang perempuan mengatakannya, maka kita harus menghentikan perbuatan kita. – Deepak Sehgal.
Sosok laki-laki baru yang lain muncul di hadapan saya. Walaupun bukan dalam wujud nyata, saya merasa terenyuh dengan pembelaannya.
Frasa laki-laki baru yang sedari tadi saya sebutkan merujuk pada satu kelompok yang dianggap selalu diuntungkan dalam budaya patriarki, yaitu laki-laki. Namun laki-laki baru ini memiliki kesadaran lain yang muncul dari refleksi bahwa budaya patriarki membawa dampak negatif bagi laki-laki sendiri. Konstruksi kelelakian, atau yang sering dikenal dengan maskulinitas, yang diandaikan oleh budaya patriarki ternyata melahirkan hirarki di kalangan laki-laki sendiri. Dan pada akhirnya, laki-laki menyadari bahwa hirarki itu menimbulkan ketidakadilan dan penindasan laki-laki atas laki-laki lainnya.
“Laki-laki tidak bisa menjadi bagian dari solusi jika laki-laki belum menyadari bahwa laki-laki adalah bagian dari persoalan.” – Nur Iman Subono, pengajar Ilmu Politik dan Kajian Gender, Universitas Indonesia.
Cewek Selalu Benar
Seringkali laki-laki dari golongan dominan menganggap bahwa mereka telah memberi ruang kepada perempuan untuk “dipercaya” dengan melontarkan kalimat tersebut. Padahal, kepercayaan yang diberikan hanya sekadar kesemuan yang diolah sedemikian rupa. Mengapa? Karena mereka secara langsung maupun tidak langsung tetap menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Posisi di mana mereka tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri, sehingga butuh kalimat tersebut untuk menopang kebangkitannya.
Enggan untuk mendengar argumen yang terlontar, kemudian secara asal-asalan membuat tembok kokoh di balik kalimat, “Iya, deh, cewek emang selalu benar.”
Perihnya, bukan hanya laki-laki dominan yang seringkali mengeluarkan kalimat tersebut. Namun juga mereka dari kelompok perempuan yang masih dikuasai jajahan patriarki. Dengan bangga mereka mengatakan, “Peraturan pertama, cewek selalu benar. Peraturan kedua, kalau cewek salah ya kembali ke peraturan pertama!” dan kemudian merasa menang. Kemenangan atas apa? Konstruksi sosial yang terus-menerus membuahkan kebodohan yang timpang?
Benar adalah benar. Dan, salah adalah salah. Bagi saya, garis abu-abu di tengahnya dapat timbul dari komunikasi yang baik antara kedua belah pihak. Jadi, mengemukakan pendapat dan mendengarkan adalah pasal yang semestinya dijunjung tinggi. Apa pun gendernya.
“Perempuan tidak boleh membiarkan dirinya diitimidasi oleh masa lalu karena dalam bidang ini, sebagaimana di semua bidang lain, masa lalu tak pernah dapat berdusta pada masa depan.” – Simone de Beauvoir, dalam esai berjudul Perempuan dan Kreativitas.
Dari film PINK ini kita dapat sama-sama mempelajari bahwa bukan hanya pihak perempuan yang harus disadarkan untuk melakukan self-defense, tetapi juga pihak laki-laki yang harus lebih menghargai kata “tidak” yang yang dilontarkan oleh perempuan. Sejatinya perihal ini akan tampak begitu sederhana. Namun dalam praktiknya? Apa kegetiran dari sebuah senyum masih bisa menjadi jawaban?
Laki-laki dan perempuan. Berjalan bersama-sama dan menghirup udara sampai embus napas terasa jauh lebih lega. Bukan merupakan sebuah proses yang instan, tapi kesempatannya akan selalu ada. Mungkin, saya tidak mendapat kesempatan untuk menggerakkan tangan saya dan menggapai pegangan dalam commuter line yang berada tepat di atas kepala karena kesesakan sekeliling saya. Namun, saya masih memiliki kesempatan untuk merasakan bebasnya menjadi perempuan tanpa jeratan dengan menulis dan mengeluarkan pendapat.
Tabik!
Hvman
No comments: