Cincin Ningrum

Cerpen Cincin Ningrum

“Cincinku hilang! Seseorang telah mencurinya!” Ningrum berteriak membuat gaduh seisi rumah.

Ayah dan ibunya pun serentak keluar dari sarang mereka, “Apanya yang hilang, Nak?” sang ibu bertanya kepada anak semata wayangnya.

“Cincinku, Bu!” Ningrum kembali berteriak.

***

Perayaan ulang tahun Ningrum sangat sederhana. Kue bolu berlapis krim putih dan sedikit sentuhan merah muda telah tersaji di atas meja. Ditambah dua cahaya lilin berbentuk angka 17 yang bertengger di permukaannya menambah nyala penyambutan usia baru Ningrum semakin semarak. Hanya ada tiga orang yang hadir ke perjamuan manis itu. Selain kedua orang tuanya, ada Jo yang entah kekasih atau teman akrab Ningrum di sekolah.

Bibir Ningrum yang sudah dipoles gincu merah mulai sedikit mengerucut, bersiap meniup api di atas kedua lilin itu. Ya Tuhan, aku mau handphone baru, amin. Demikian doa Ningrum yang hanya diketahui dirinya dan Tuhan. “Puhhh …,” api di atas lilin itu menghilang, berganti menjadi asap tipis yang menari memanjat ke langit-langit rumah kemudian lenyap. Sebilah pisau disodorkan oleh ibunya untuk Ningrum membelah kue itu. Potongan pertama Ningrum layangkan ke mulut ibunya, disusul ke mulut sang ayah, dan yang terakhir tentu saja ke tamu perayaan lainnya—Jo—yang disambut suara batuk dan wajah malu dari semua yang hadir di sana. Selepasnya, acara kecil itu dilanjutkan dengan membuka kado.

Ada dua kado di atas meja kayu dengan taplak putih kekuningan bermotif bunga itu. Bungkusan pertama berbentuk kotak bersampul kertas berwarna emas. Ningrum dengan cepat membuka hadiah pertamanya, terlihat sebuah baju dengan corak bunga mawar yang mempercantiknya. Pasti dari Jo! Tebaknya dalam hati dengan begitu yakin. Selanjutnya, bungkusan lain yang juga berbentuk kotak, tapi dengan balutan ungu berpita merah menyala. Kado kali ini membuat Ningrum percaya bahwa Tuhan memang baik hatinya, isinya adalah sebuah ponsel pintar idaman Ningrum. Seketika, Ningrum melompat kecil kemudian memeluk ibunya disusul ciuman kecil di pipi sang ibu. Setelah perayaan sederhana itu, Ningrum masuk ke sangkarnya untuk menjaga telur-telur mimpinya.

***

Pagi hening itu berubah menjadi riuh oleh teriakan Ningrum.

“Cincinku hilang!” lantangnya ribut hingga membuat kedua orangtuanya turut merasa kalut.

Cincin itu adalah pemberian sang ibu. Karenanya, tak pernah ia tanggalkan barang sedetik pun. Maka dari itu, kacaunya berkecamuk ketika ia tak mampu mengingat kapan terakhir kali cincin tersebut bertengger pada jari manisnya itu.

Ningrum masih memandangi bekas melingkar yang tampak jelas di sana. “Aku yakin dia pelakunya, sebab dia masuk ke kamarku semalam. Bahkan dia meraba tubuhku diam-diam,” gumam Ningrum dalam hatinya.

***

Entah pukul berapa tepatnya, tapi jelas kisaran tengah malam. Seseorang masuk ke kamar Ningrum yang memang tak pernah ia kunci. Orang itu melangkahkan kakinya perlahan dan memulai gelagatnya yang seperti mencari-cari. Setelah meja rias di samping ranjang habis digerayangi, orang itu meraba-raba tubuh Ningrum dan membuat gadis yang terbaring lelap tersebut sempat terbangun dan membuka mata dengan sangat hati-hati. Ekor matanya menangkap sosok yang masih sibuk dalam gelap ruang. Upaya fokusnya membuat retina bekerja keras membesarkan diameternya. Hingga akhirnya, Ningrum berhasil menangkap rupa orang itu dengan lebih jelas. Ya, itu ayahnya!

Ningrum hanya mampu membuka mata, tak sanggup bertanya sebab rasa takutnya memeluk erat. Di balik tubuh yang sedikit menegang, Ningrum diliputi bingung perihal apa yang dicari atau yang ingin dilakukan ayahnya. Apalagi jika Ningrum harus mengingat tatapan dingin penuh penasaran yang sering ditombak ke arah Ningrum oleh kedua mata lelaki yang baru menikahi ibunya beberapa tahun silam itu. Sejak tubuhnya semakin ranum, tatapan ayah tiri Ningrum semakin terkesan aneh bahkan mesum. Tujuh tahun yang lalu, Ningrum belum mengerti—atau bahkan sama sekali tak peduli, yang ia ingat ibunya menikah lagi dengan seorang lelaki bernama Tomo. Namun, baru belakangan ini tatapan risih itu muncul.

Ah, percuma. Menilik kejadian malam lalu pun tetap tak memberi jawaban atas siapa yang telah mencuri cincinnya. Sebab, jika ayah tirinya itu yang mengambil, ia pasti merasakan jarinya tergenggam.

Pikirnya masih melayang. Mustahil ibunya mengambil cincin itu. Karena setelah pesta usai, ibunya langsung masuk ke dalam kamar; entah tidur atau sekadar merebah. Lagipula, cincin itu diberikan oleh ibunya sendiri, untuk apa ia mengambilnya kembali dengan cara mencuri? Jika ibunya memang membutuhkan, tentu saja Ningrum dapat memberikannya secara sukarela.

Bagaimana dengan Jo? Setelah membuka kado, Jo langsung pulang ke rumahnya. Tak mungkin dia sempat mengambil cincin itu sebelum pesta selesai.

Tak habis pikir, Ningrum berkata, “Mungkin ada pencuri yang masuk tanpa kusadari, atau tuyul, atau makhluk takhayul lainnya yang mengambil cincin itu.”

Cincin tetaplah cincin. Tak peduli terbuat dari emas, perak, perunggu, kayu, atau bermata berlian sekali pun. Cincin tetaplah benda mati yang tak bisa merangkak apalagi berjalan sendiri. Dia tak berjantung, tanpa pikiran. Biarpun seorang penyair akan berkata bahwa cincin memiliki ruh yang diembus oleh kenangan.

***

Malam selepas pesta ulang tahun Ningrum, Tomo memutuskan untuk merayakan lamunan atas kenangan manis yang baru saja dia terima sebagai seorang bapak. Ia masih tak percaya kini ia memiliki keluarga kecil, mengingat ia hanyalah seorang pria sebatang kara sebelum pertemuannya dengan seorang janda bernama Wati. Kemudian ia menikah dan—dengan segala yang pas-pasan sebagai tukang ojek—diterima menjadi seorang bapak bagi gadis bernama Ningrum.

Rokok murah yang ia beli tersisa tiga batang saja, Tomo hendak membakar ujung rokok yang telah diapit kedua katup bibirnya yang tampak nyaris hitam. Ia menepuk kedua paha dengan kedua telapak tangannya, kemudian dengan kebingungan ia lanjut mencari menuju kantong baju kemeja bermotif kotak yang ia gunakan ngojek tadi siang. Nihil; koreknya hilang. Mungkin terjatuh, pikirnya.

Tomo terduduk mematung di kursi ruang tamu. Kemudian, sebuah ingatan muncul di kepalanya. Entah hari apa, sekitar beberapa bulan lalu ia melewati sebuah warung kecil di pinggir jalan setelah mengantar penumpang. Dari kejauhan, bola matanya masih dapat menangkap dengan jelas sosok Ningrum sedang bercengkerama dengan sebatang rokok di sela jari telunjuk dan tengahnya. Tomo menajamkan pandangannya dan tampak semakin jelas aktivitas Ningrum mengisap rokok dan mengembuskan asapnya sampai menjadi awan di langit.

Sejak itu, setiap kali melihat Ningrum, Tomo selalu menahan geram untuk meluapkan amarah karena tak tega. Lekaslah Tomo beranjak dari kursi yang didudukinya, membuka pintu kamar anak tirinya, meraba apa pun di depannya; terutama meja rias. Semuanya gelap, kini Tomo meraba sekujur tubuh gadis di hadapannya yang masih terlelap. Akan tetapi, apa yang ia cari tak dapat ia temukan.

Akhirnya dengan kesal hati, terutama karena ingatan itu muncul di saat yang berbahagia ini, Tomo memilih untuk menghentikan apa yang dilakukan. Tubuhnya berbalik dan dengan mantap melajukan langkah masuk satu selimut dengan istrinya di kamar.

***

Besok adalah hari ulang tahun anak kandungnya, Wati berniat merayakan hari istimewa itu. Apalagi ini ulang tahun ke-17 yang manis, pun menandai 17 tahun perjuangan membesarkan gadis semata wayangnya.

Pada hari kelahiran Ningrum, Wati menunggu kedatangan suaminya. Namun malang, yang ia tunggu tak kunjung datang. Sehingga seorang dokter secara ikhlas menyuarakan azan ke telinga anak perempuannya. Sepuluh tahun sudah Wati menunggu, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan seorang laki-laki lugu yang juga tukang ojek langganannya. Tanpa ragu, Wati menyatakan “ya” ketika bujang itu menyampaikan pinangan, membuatnya merasakan akad nikah untuk kali kedua.

Kue sudah dipesan. Sekarang, tinggal kadonya yang harus dipersiapkan. Wati ingat Ningrum pernah merengek meminta handphone baru, tapi bukan kepadanya; melainkan kepada seseorang di ujung saluran telepon. Sebagai seorang ibu, hati Wati sedikit remuk mendengarnya. Hal inilah yang membuat dirinya ingin membelikan gawai baru untuk Ningrum sebagai hadiah di usia barunya.

***

Sepulang dari rumah Ningrum, Jo pergi nongkrong bersama teman-temannya; mabuk arak sampai nyaris tak sadar diri. Jo begitu pendiam, memang, hingga sampai saat itu tak ada satu pun isi hatinya yang keluar untuk ia katakan kepada Ningrum. “Kenapa seseorang yang pengecut harus jatuh cinta?” Jo berteriak yang dibalas suara gelak tawa oleh teman-temanya. Kemudian ia berdiri dari tempat duduknya, menyalakan motor hendak pulang ke rumah.

Di sepanjang jalan, Jo terus memikirkan Ningrum; memikirkan kekesalan karena gagal memberikan kado yang Ningrum inginkan.

“Jika saja aku belikan handphone, mungkin gadis itu akan mendekap tubuhku sampai hancur,” kalimat penyesalan itu Jo katakan seorang diri di sepanjang jalan menuju ke arah rumahnya.

Sesampainya, tepat di depan pintu, Jo membeku. Ia menatap langit sebelum membuka pintu. Baru saja pintu rumahnya ia buka, Jo secepat kilat memutar balik tubuhnya. Ia kembali menyalakan motor, kali ini menuju rumah Ningrum sang pujaan hati dengan maksud untuk mengatakan sesuatu.

Namun apalah daya, Jo tak tega sama sekali. Setelah turun dari motornya yang dilajukan secepat kilat, ia hanya mampu berdiri mematung tepat di muka pintu rumah Ningrum. Bagaimana cara memberi tahu Ningrum? Suara-suara di dalam kepalanya begitu berisik, sementara ia masih mencipta sunyi di bawah atap langit menuju pagi.

Sebuah percakapan yang ia dengar di ruang tamu rumahnya masih terus terulang bagai gulungan film rusak. “Ini cincinnya, Bu. Sesuai janji saya, sebelum subuh akan saya berikan. Maaf jika mengganggu tidur Bu Sulis,” ucap seorang wanita paruh baya yang sudah sangat tidak asing. Ya, percakapan itu berasal dari ibunya dan ibu Ningrum. Jo melihat dengan mata kepalanya sendiri. Hanya ada ibunya, ibu Ningrum, dan cincin emas yang tergeletak di meja.

***

“Uangku pas-pasan, Nak. Aku mau menikahi Tomo agar hemat ongkos pulang-pergi ke pasar untuk berjualan. Hartaku cuma satu, hanya cincin emas yang melingkar di jarimu, Nak. Maafkan ibu. Ini demi handphone baru yang kau inginkan. Kenapa kau malah mengemis kepada orang lain, bukan kepadaku?”

Kaki Wati terus melangkah menuju rumah Bu Sulis, seorang rentenir, untuk menyerahkan cincin emas sebagai jaminan atas uang pinjaman yang digunakannya mengaminkan doa putrinya.





Tabik!



Pardesela.
(disunting oleh Hvman)

Cincin Ningrum Cincin Ningrum Reviewed by hvman on June 22, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.

Pages

Label